Pages

Pasca Sarjana

Pasca Sarjana

About

Selamat Datang BLOG KAMI  »   "ان المعلم و لبطيب كلا هما* لا ينصحان اذهما لم يكر مان" Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormatiالله اكبرا, Mari Kita Berusaha menjadi manusia yang takwa... Tetap semangat Beruntunglah Orang Yang tidak Selalu lupa Salam Takzim

Kamis, 27 November 2014

sepuntene hanya kta ni yg bs d ucpkan Sabar.. tetap ikhtiar n tawakal.. insyaallah da jalan,,semangaat..!Allah bersma pean nikmat n rasakan lika liku khdupan..ambil hikmah d stiap lngkahnya..brusha bijak..tetap tersenyum pnuh syukur, Allah slalu setia bersama pean,, yg slalu menrima pean apa adanya,, DIA yg lbh mengrti mana yg trbaik bg pean, smangat ikhtiar n twakal tuk ibdah kpd Allah, keluarga, iftah n orng2 d luar sna yg lbh membtuhkan..!! maaf jk da kta2 yg d rasa sok to salah.. maklum kta2 nk kecil hehe



Madiun, 27 November 2014

Minggu, 16 November 2014

MENGELOLA NILAI EVALUASI



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang  Masalah
Evaluasi pembelajaran siswa adalah salah satu kegiatan yang merupakan kewajiban bagi setiap guru. mengapa. Karena hendaknya ia harus dapat memberikan informasi kepada lembaga atau kepada siswa itu sendiri. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya memahami tehnik pemberian skor, bahkan langkah-langkah sebelum membuat tes pertanyaan.
Banyak beberapa pendapat ahli yang mengatakan bahwa penilaian berbeda dengan penskoran. Dalam makalah ini, dijelaskan dengan jelas perbedaan yang sangat mendasar dalam melakukan evaluasi terhadap hasil tes peserta didik. Karena acapkali terjadi kekeliruan pendapat tentang fungsi penilaian pencapaian belajar siswa. Banyak lembaga pendidikan atau pengajar –secara tidak sadar atau sadar-yang menganggap fungsi penilaian itu semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi siswa atau mahasiswa dalam kenaikan kelas, kenaikan tingkat, dan sebagai alat seleksi kelulusan pada akhir tingkat program.
Dalam makalah ini juga akan dibahas secara jelas tentang acuan penilaian yang menjadi standar dalam memberi nilai dan skor dengan langkah-langkah yang jelas. Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan mahasiswa terhadap seluruh uraian pengajar dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan intruksional.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu bagi seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara atu teknik-teknik yang baik untuk mengevaluasi anak didiknya, sejauhmana pencapaian siswa dalam menguasai materi yang disampaikan.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dibahas adalah
1.      Apa pengertian dan pemberian skor?
2.       Bagaimana pendekatan penilaian?
3.      Bagaimana cara pemberian skor?
4.      Bagimana Cara mengolah skor menjadi nilai standar?

  1. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui tehnik pengambilan skor hasil tes peserta didik.
2.      Mampu memahami dan menerapkan pendekatan dalam penilaian.
3.      Mampu memahami dengan jelas cara pemberian skor
4.      Mampu menilai dan mengolah skor menjadi nilai standar tepat.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Cara Pemberian Skor
1.      Penegertian
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penskoran adalah proses, cara, pembuatan skor.
Skor berbeda dengan nilai. Nilai adalah angka ( huruf ) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lain serta disesuaikan pengaturannya dengan standart tertentu. Sedangkan skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dar setiap butir soal yang telah di jawab oleh testee dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban betulnya.
Menurut Zainal Arifin (2011) dalam mengolah data hasil tes, ada empat langkah pokok yang harus tempuh. Pertama, menskor, yaitu memberi skor pada hasil tes yang dapat dicapai oleh peserta didik. Untuk memperoleh skor mentah diperlukan tiga jenis alat bantu, yaitu : kunci jawaban, kunci skoring, dan pedoman konversi. Kedua,  mengubah  skor  mentah    menjadi  skor  standar  sesuai  dengan  norma tertentu. Ketiga, mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, baik berupa hurup atau angka. Keempat, melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan reliabilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty index), dan daya pembeda.[1]

Menurut Suharsimi ( 2005:235 ) bahwa skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoles dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang di jawab betul oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan norma atau acuan standar.
Cara pemberian skor terhadap hasil tes hasil belajar pada umumnya disesuaikan dengan bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes tersebut, tes uraian (essay) atau tes obyektif (objektive test).
a.      Pemberian Skor pada Tes Uraian.
Pada tes uraian, pemberian skor didasarkan pada bobot (weight) yang diberikan pada setiap butir soal, didasarkan dan disesuaikan dengan tingkat kesulitan dari soal tersebut dan atau banyak sedikitnya unsur yang terdapat dalam jawaban yang dianggap benar.
*      Bobot dinyatakan dalam skor maksimum sesuai dengan tingkat kesukarannya. Misalnya, untuk soal yang mudah skor maksimumnya adalah 6, untuk soal sedang skor maksimumnya adalah 7, dan untuk soal sukar skor maksimumnya adalah 10. Cara ini tidak memungkinkan peserta didik mendapat skor  maksimum sepuluh. Kedua, bobot dinyatakan dalam bilangan-bilangan tertentu  sesuai dengan tingkat kesukaran soal. Misalnya, soal yang mudah diberi bobot 3, soal sedang diberi bobot 4, dan soal sukar diberi bobot 5. Cara ini memungkinkan peserta didik mendapat skor sepuluh.
*      Contoh : Seorang peserta didik diberi tiga soal dalam bentuk uraian. Setiap soal diberi skor (  X ) maksimum dalam rentang 1 10 sesuai dengan kualitas jawaban peserta didik.

Tabel 1

Perhitungan Skor dengan Sistem Bobot Pertama

No
Soal
Tingkat
Kesukaran
Jawaban
Skor (X)
1
Mudah
Betul
6
2
Sedang
Betul
7
3
Sukar
Betul
10

Jumlah

23


b.      Pemberian skor pada tes obyektif.
Pemberian skor pada tes obyektif pada umumnya digunakan system denda. Untuk soal obyektif bentuk true-false misalnya, setiap item diberi skor maksimal 1 (satu). Apabila testee menjawab benar maka diberikan skor 1 dan apabila salah maka diberikan skor 0.
*      Untuk item bentuk benar-salah (true-false)
Rumus :S  = B - S
Keterangan :
S          = skor yang dicari
B  = jumlah jawaban yang benar
S       = jumlah jawaban yang salah
Contoh :
Seorang peserta didik dites dengan soal bentuk B S sebanyak 30 soal. Ternyata, peserta didik tersebut dapat menjawab soal dengan betul 25 butir soal, berarti jumlah jawaban yang salah ada 5 soal. Dengan demikian, skor peserta didik yang bersangkutan adalah : Skor =  25 – 5 = 20.

2.      Langkah-langkah member skor
a.       Menyusun suatu jawaban model sebagai kunci jawaban yang memenuhi syarat sebagai jawaban yang baik (benar, relevan, lengkap, berstruktur, dan Jelas).
b.      Setiap item bisa berbeda bobot. Perbedaan bobot bisa berdasar pada jenis bahan (bahan perangsang, bahan inti, bahan penting, dan kurang penting), teksonomi (pengetahuan, pemahaman, evaluasi, dll).
c.       Membaca beberapa jawaban dari peserta didik yang kurang pandai dan yang pandai. Hal ini dapat dipakai untuk memperoleh gambaran umum tentang kualitas dari jawaban dari para peserta didik atau mengecek apakah kunci jawaban cukup realistik.
d.      Sebaiknya masing-masing nomor dari jawaban tes diperiksa sekaligus sebelum melakukan skoring nomor yang lain.
e.       Agar tidak terpengaruh oleh kesan mutu jawaban yang mendahului sebaiknya sesudah selesai diperikasa jawaban-jawaban satu nomor, lembar jawab perlu ditukar urutannya.
f.       Tidak usah memperhatikan nama dan nomor peserta, untuk mengurangi subyektivitas.
g.      Membiasakan hanya memeriksa isi pikiran yang dikemukakan  dalam jawaban, sehingga tidak perlu menilai bentuk tulisan dan lain-lain.
h.      Mengembalikan lembar jawab lengkap dengan catatan-catatan seperlunya.

B.     Berbagai Pendekatan Penilaian
Dalam evaluasi program pendidikan yang banyak dikenal dan sering dijadikan rujukan dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan, terdapat Beberapa Pendekatan dalam penilaian pendekatan yang digunakan yakni :
1.      Objective-Oriented Approach.
Model Objective-Oriented Approach (pendekatan penilaian berorientasi tujuan) adalah pendekatan dalam melakukan evaluasi program yang menitik beratkan pada penilaian ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, pandangan ini mempersyaratkan bahwa suatu program pendidikan harus menetapkan atau merumuskan tujuan-tujuan spesifiknya secara jelas. Terhadap tujuan-tujuan program yang sudah ditetapkan tersebut barulah evaluasi program difokuskan.
Ketercapaian tujuan belajar tersebut tercermin dari hasil tes siswa. Oleh karena itu, tes sebagai alat (instrument) untuk melakukan penilaian selalu dibuat berdasarkan pada tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan. Kalau anda pernah menjadi seorang guru, anda tentu masih ingat bagaimana membuat kisi-kisis penyusunan soal yang selalu didasarkan pada ranah-ranah hasil belajar yang sudah ditetapkan sebagai tujuan pembelajaran. Kegiatan penilaian seperti yang dilakukan guru itu adalah salah satu contoh penerapan pendekatan penilaian program yang berorientasi tujuan (objective-oriented approach).
Tyler mendefinisikan penilaian pendidikan sebagai suatu proses untuk menentukan sejauhmana tujuan-tujuan pendidikan dari program sekolah atau kurikulum tercapai.[2] Pendekatan penilaian yang dikemukakan Tyler ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Menentukan tujuan secara jelas
b.      Mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut
c.       Mendefinisikan tujuan-tujuan dalam istilah perilaku terukur
d.      Temukan situasi dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan
e.       Mengembangkan atau memilih teknik-teknik pengukuran
f.       Mengumpulkan data

2.      Management-Oriented Approach.
Pendekatan lain yang banyak dipengaruhi pemikiran Tyler dikembangkan Provus berdasarkan pada tugas-tugas evaluasi di sebuah sekolah umum di Pittsburgh, Pensylvania. Provus (1973) memandang penilaian sebagai proses pengelolaan informasi berkelanjutan yang dirancang memberi pelayanan sebagai the watchdog of program management’dan the handmaiden of administration in the management of program development trough sound decision making.
Walaupun nampak adanya pendekatan manajemen dalam pemikiran Provus, tetapi tradisi Tyler lebih dominan. Hal ini dapat dilihat dari definisi evaluasi yang ia kembangkan. Menurut Provus, evaluasi adalah proses:
v  Menyetujui berdasarkan standar (istilah lain yang digunakan secara bergantian dengan istilah tujuan)
v  Menentukan apakah ada kesenjangan antara kinerja aspek-aspek program dengan standar kinerja yang ditetapkan
v  Menggunakan informasi tentang kesenjangan-kesenjangan yang ditemukan sebagai bahan untuk meningkatkan mengelola, atau mengakhiri program atau salah satu aspek dari program tersebut.

3.      Naturalistic-Participant Approach.
Pendekatan penilaian yang berorientasi tujuan ini secara teknologis telah merangsang berkembangnya proses-proses perumusan tujuan secara spesifik serta pengembangan atau penemuan instrument-instrumen maupun prosedur pengukuran yang beragam. Dilihat dari kajian dan literature, pendekatan penilaian berorientasi tujuan sudah lebih banyak dan terarah kepada persoalan bagaimana pendekatan ini diaplikasikan dalam penilaian di kelas, penilaian sekolah, penilaian program sekolah di satu kabupaten, atau lainnya. Oleh karena itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kelebihan pendekatan ini adalah mudah dipahami, mudah untuk diimpelementasikan, dan disepakati banyak pendidik dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan misi mereka.
Disamping manfaat dan keungulan sebagaimana dipaparkan di atas, pendekatan ini juga mendapatkan beberapa kritik yang sekaligus meggambarkan sebagai kelembahan dari pendekatan tersebut. Beberapa kritik yang mengemuka adalah (Worten and Sander, 1987)[3]

4.      Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian kelas = pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan (nilai) hasil belajar siswa berdasarkan tahapan belajarnya. Berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dilakukan dengan berbagai cara. Dilakukanmelalui kumpulan kerja siswa (portopolio), hasil karya (products), penugasan (projects), Unjuk kerja (performances) dan tes tulis (paper & pen).[4]
Tujuan Penilaian Kelas :
§  Keeping-track (proses pembelajaran sesuai dengan rencana)
§  Cheking-up (mencek kelemahan dalam proses pembelajaran)
§  Finding-out(menemukan kelemahan & keslahan dalam pembelajaran)
§  Summing-up (menyimpulkan pencapaian kompetensi peserta didik)
Manfaat : informasi, umpan balik, memantau kemajuan, umpan balik bagi guru, informasi kepada orang tua dan komite sekolah.
Fungsi Penilaian Kelas :
*      Alat menetapkan siswa dalam penguasaan kompetensi
*      Sebagai bimbingan
*      Sebagai alat diagnosis
*      Sebagai alat prediksi
*      Sebagai grading
*      Sebagai alat seleksi
Jenis-jenis penilaian kelas :
Ø  Melalui Portofolio
Ø  Melalui unjuk kerja (performance)
Ø  Melalui penugasan (project)
Ø  Melalui hasil kerja (Product)
Ø  Melalui tes tertulis ()paper & pen)

5.      Penilaian Acuan Norma
PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semat–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar mahasiswa yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurve ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurve Normal”yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing – masing mahasiswa ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurve normal” yang satu ke “kurve normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.[5]

6.      Penilaian acuan patokan.
PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN.
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.
Patokan yang dipakai untuk kelompok mahasiswa yang mana sama ini pengertian yang sama. Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan.
Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.
Penggunaan PAN dan PAP
Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua matakuliah, dari matakuliah yang paling teoritis (penuh dengan materi kognitif) sampai ke matakuliah yang praktis (penuh dengan materi ketrampilan). Angka-angka hasil pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif, ketrampilan, dan bahkan sikap yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok mahasiswa sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvekan. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan, kelompok mahasiswa yang menerima pengajaran tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam bentuk kurve. Kurve dan segala hasil perhitungan yang menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan bakul) dapat segera dipakai dalam PAN.
Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya” pendektan ini tidak semata-mata mempergunakan angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji, melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan bahan pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga pengajar tidak begitu saja membiarkan mahasiswa menjalani sendiri proses belajarnya, melainkan terus menerus secara langsung ataupun tidak langsung merangsang dan memeriksa kemajuan belajar mahasiswa serta membantunya melewati tahap-tahap secara berhasil. Ujian pembinaan dilaksanakan pada tahap tersebut. Usaha ini akan mencegah mahasiswa dari keadaan terlanjur tidak menguasai dengan baik bahan kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya seperti dituntut oleh TKP. Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk (indikator) apakah mahasiswa tertentu memerlukan bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau tidak.
Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran. Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji apakah mahasiswa telah menguasai seluruh bahan yang diajarkan itu dengan baik. Ujian akhir ini didasarkan sepenuhnya pada TKP.[6]

C.    Cara Pemberian Nilai
Kira-kira dua-tiga decade yang lalu, atau mungkin  bahkan hingga kini, masih banyak orang berpendapat bahwa “siapa yang menguasai materi, dengan sendirinya bisa mengajarkannya; dan (implicit di dalamnya) siapa yang bisa mengajar, dengan sendirinya dapat pula melakukan penilaian”. Akan tetapi, parallel dengan berkembangnya teknologi pendidikan, termasuk di dalamnya teknologi pengukuran dan penilaian prestasi belajar siswa, dalil tersebut sudah mulai luntur, kini banyak orang- khususnya para guru atau pengajar – mulai menyadari bahwa masalah pengukuran dan penilaian prestasi belajar siswa bukanlah pekerjaan yang mudah, yang dapat dilakukan secara intuitif atau secara trial and error saja. Untuk dapat melakukan pengukuran dan penilaian secara efektif diperlukan latihan dan penguasaan teori-teori yang relevan dengan tujuan dari proses-belajar-mengajar sebagai bagian yang tidak terlepas dari kegiatan pendidikan sebagai suatu sistem.
Sehubungan dengan itu, dalam uraian berikut ini akan dibicarakan beberapa prinsip penilaian yang perlu diperhatikan sebagai dasar dalam pelaksanaan penilaian; sesudah itu akan dibicarakan pula tentang prosedur pemberian nilai.
Adapun beberapa prinsip penilaian itu ialah sebagai berikut:
1.      Penilaian hendaknya didasarkan atas hasil pengukuran yang komperhensif. Ini berarti bahwa penilaian didasarkan atas sampel prestasi yang cukup banyak, baik macamnya maupun jenisnya. Untuk itu dituntut pelaksanaan penilaian secara sinambung dan penggunaan bermacam-macam teknik pengukuran. Dengan macam dan jumlah ujian yang lebih banyak, prestasi siswa dapat diungkapkan secara lebih mantap meskipun harus pula dicatat bahwa banyaknya macam dan jumlah ujian harus dibarengi dengan kualitas soal-soalnya, yang sesuai dengan fungsinya sebagai alat ukur.
2.      Harus dibedakan antara penskoran dengan penilaian. Hal ini harus dibicarakan dalam uraian terdahulu. Penskoran berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka, sedangkan dalam penilaian kita memproses angka-angka hasil kuantifikasi prestasi itu dalam hubungannya dengan “kedudukan” personal siswa yang memperoleh angka-angka tersebut didalam skala tertentu, misalnya skala tentang baik-buruk, bisa diterima-tidak bisa diterima, dinyatakan lulus-tidak lulus. Dalam penskoran, perhatian terutama ditujukan kepada kecermatan dan kemantapan; sedangkan dalam penilaian, perhatiannya terutama ditujukan kepada validitas dan kegunaan.
3.      Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua macam orientasi, yaitu penilaian yang norms-referenced dan yang criterion-referenced. Norms-referenced adalah penilaian yang diorientasikan kepada suatu kelompok tertentu; jadi, hasil evaluasi perseorangan siswa dibandingkan dengan kelompoknya. Prestasi kelompoknya itulah yang dijadikan patokan atau norm dalam menialai siswa secara perseorangan. Penilaian norms-referenced selalu bersifat kompetitif intrakelompok. Criterion-referenced ialah penilaian yang dioreientasikan kepada suatu standar absolute, tanpa dihubungkan dengan suatu kelompok tertentu. Misalnya, oenilaian prestasi siswa yang didasarkan atas suatu kriteria pencapaian tujuan instruksional dari suatu mata pelajaran  atau bagian dari mata pelajaran yang diharapkan dikuasai oleh siswa setelah melalui sejumlah pengalaman belajar tertentu. Penilaian criterion-referenced sangat relevan bagi lembaga pendidikan yang telah menggunakan kurikulum yang berdasarkan kompetensi.
4.      Kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral  dari proses belajar-mengajar. Ini berarti bahwa tujuan penilaian, disamping untuk mengetahui status siswa dan menaksir kemampuan belajar serta penguasaannya terhadap bahan pelajaran, juga digunakan sebagai feedback, baik kepada siswa sendiri maupun bagi guru atau pengajar. Dari hasil tes,  pengajar dapat menetahui kelebihan dan kelemahan siswa tertentu sehingga selanjutnya ia dapat melakukan koreksi terhadap kesalahan yang dibuatnya dan atau member reinforcemence bagi prestasinya yang baik. Bagi guru –meskipun umumnya jarang dilakukan- seharusnya hasil penilaian para siswanya itu dipergunakan untuk “mawas diri” sehingga ia dapat mengetahui dimana letak kelemahan atau kekurangannya. Mungkin metode mengajar yang dipergunakannya kurang tepat, atau baha pelajaran terlalu sukar dan tidak sistematis cara penyajiannya, atau sikap pengajar yang tidak selalu memburu-buru setiap tugas yang diberikan, atau mungkin juga alat evaluasinya yang tidak memenuhi syarat-syarat penyusunan soal dan tidak atau kurang relevan dengan materi pelajaran yang telah diberikan.  Ini semua akan dapat dilakukan dengan baik jika guru benar-benar ikhlas dan beritikad baik untuk meningkatkan kualitas profesinya. Ia menyadari bahwa kegagalan siswa  tidak automatis selalu merupakan tanggung jawab siswa, setidak-tidaknya menyadari bahwa kegiatan belajar-mengajar itu pada hakikatnya adalah suatu proses komunikasi dua arah, bahwa di dalam proses belajar-mengajar, baik siswa maupun pengajar sama-sama belajar.
5.      Penilaian harus bersifat komparabel. Artinya, setelah tahap pengukuran yang menghasilkan angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi yang menduduki skor yang sama harus memperoleh nilai yang sama pula. Atau, jika dilihat dari segi lain, penilaian harus dilakukan secara adil, jangan sampai terjadi penganakemasan atau penganaktirian. Penilaian yang tidak adil mudah menimbulkan frustasi pada siswa, yang selanjutnya dapat merusak perkembangan psikis siswa dan mahasiswa sehingga pembentukan afektif dirusak karenanya.
6.      System penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan bagi pengajar sendiri. Sumber ketidakberesan dalam penilaian terutama adalah tidak jelasnya system penilaian itu sendiri bagi para guru; apa yang dinilai serta macam skala pe nilaian yang dipergunakan dan makna masing-masing skala itu. Apa pun skala yang dipakai dalam penilaian, hendaknya dipahami benar-benar apa isi dan maknanya.
Prosedur penilaian yang menggunakan teknik statistik seperti diuraikan di atas cocok dan baik digunakan jika:
Ø  Pancaran skor-skor actual yang diperoleh mendekati pencaran kurva normal;
Ø   Jumlah kasus(siswa yang dites) cukup besar:minimal 50,atau lebih baik lagi jika 100 ke atas.
a)      Prosedur penilaian yang paling sederhana atau mungkin juga dapat dikatakan paling tua dan banyak dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita, ialah prosedur yang tidak membedakan dengan jelas adanya dua fase yaitu fase pengukuran dan penilaian. Prosedur ini mengandung lebih banyak kelemahan dari pada kebaikan. Dalam pelaksanaanya sering dikacaukan antara penskoran dan penilaian, atau yang lebih lazim lagi angka atau skor yang sebenarnya merupakan “biji”, langsung dianggap sebagai nilai, yang kemudian dipergunakan sebagai alat untuk menentukan vonnis kepada siswa atau mahasiswa yang memperoleh “biji” tersebut. seorang pengajar yang memberikan angka 6 pada pekerjan seorang siswa sudah implicit di dalam benaknya mengatakan bahwa siswa tersebut “lulus”. Jadi, sambil memberi skor sekaligus pengajar itu menilai, dan nilainya itulah angka yang diperoleh dari penskoran. Cara demikian segera dapat kita lihat kelemahnnya, yakni bahwa angka 6 yang kemudian dikenakan sebagai nilai itu belum tentu mempunyai harkat yang sama dengan angka 6 yang dibuat oleh guru lain. Apalagi jika diingat bahwa rentangan nilai yang d ipergunakan guru-guru dalam angka 0-10 masih berbeda-beda.
b)      Prosedur ini dan  berikutnya adalah prosedur yang telah memisahkan fase pengukuran dan fase penilaian dengan berbagai variaso, mulai dari yang relative sederhana sampai dengan yang lebih rumit dan sophiscated. Yang pertama ialah prosedur penilaian dengan membuat peringkat skor-skor dalam bentuk table-tabel distribusi dengan membuat rentangan skor teoritis . jika kemudian skor-skor yang diperoleh siswa dimasukkan ke dalam rentangan skor teoritis itu , maka rentangan dan distribusi skor-skor actual itu dapat diperiksa secara visual bagaimana bentuk distribusi frekuensinya sehingga sekaligus kita dapat melihat apakah tes itu terlalu mudah , terlalu sukar, atau sedang bagi kelompok siswa yang bersangkutan. Dari pemeriksaan secara visual demikian itulah penilai dapat menetapkan batas-batas penilaian sesuai dengan distribusi kelompok skor yang terlukis di dalam table. Dalam hal ini , peran guru atau penilai dituntut tanggung jawab profesionalnya dalam menentukan batas persyaratan penguasaan minimal dari hasil tes yang telah ditabulasikan itu. Hal ini yang perlu diperhatikan , dengan penggunaan prosdur “distribusi peringkat ini guru atau penilai sekaligus menerapkan kedua orientasi penilaian, yaitu penilaian norm-oriented dalam bentuk kompetisi intrakelompok dan penila criterion oriented yaitu dari segi penguasaan  minimal yang diharapkan sesuai dengan kapasitas (prestasi actual) kelompok atau kelas masing-masing.
c)      Prosedur penilaian dengan menggunakan persentase (%) banyak digunakan karena dianggap lebih sederhana dan praktis. Penilaian dengan persentase ini umumnya dikaitkan dengan skala penilaian 0-10 atau 0-100, dengan langsung mentransformasikan persentase yang dimaksud menjadi nilai. Misalnya 50% benar sama dengan nilai 5 (dalam skala penilaian 0-10).

D.    Mengolah skor menjadi nilai standar
Ada dua hal penting dalam pengolahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai, yaitu:
1.      Dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara, yaitu[7]:
a.       Bahwa pengolahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan).
1)      Hal-hal yang harus dipelajari oleh tesetee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu, dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2)      Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas. Atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya.
b.      Bahwa pengolahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes hasil belajar menjadi nilai standar dengan mendasarkan diri atau mengacu pada norma atau kelompok serinh dikenal dengan istilah PAN (singkatan dari Penilaian berAcuan Norma) atau PAK (singkatan dari Penilaian berAcuan Kelompok).
Penilai beracuan kelompok ini mendasarkan pada asumsi sebagai berikut:
1)      Pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen (berbeda jenis kelamin, berbeda latar belakang pendidikan dan sebagainya), yang distribusinya membentuk kurva normal atau kurva simetrik. Asumsi ini mengandung bahwa pada setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil belajar peserta didik, sebagaian dari peserta didik tersebut nilai-nilai hasil belajarnya terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan dan hanya sebagian kecil saja yang nilainya sangat tinggi atau sangat rendah.
2)      Tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relative dari para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah”, ataukah di “bawah”.
Dalam hal ini yang berhubungan dengan nilai standar kiranya perlu diketahui bahwa dalam dunia evaluasi pendidikan, khususnya evaluasi hasil belajar dikenal berbagai jenis nilai standar, seperti:
ü  Nilai standar berskala lima, yang sering dikenal dengan istilah nilai huruf, yaitu nilai A, B, C, D dan F.
ü  Nilai standar brskala Sembilan, yaitu rentangan atau skala nilai yang bergerak mulai dari 1 sampai dengan 9.
ü  Nilai standar berskala sebelas, yaitu skala nilai yang bergerak mulai dari nilai 0 sampai dengan nilai 10.
ü   Nilai standar z.
ü   Nilai standar T.
2.      Pengolahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala, yaitu: skala lima dengan nilai huruf A, B, C, D dan F.  Skala Sembilan dengan nilai 1 sampai dengan 9. Skala sebelas dengan rentang nilai mulai dar 0 sampai dengan 10.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Pengertian dan pemberian skor Menurut Suharsimi ( 2005:235 ) bahwa skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoles dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang di jawab betul oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan norma atau acuan standar.
Pendekatan penilaian Dalam evaluasi program pendidikan yang banyak dikenal dan sering dijadikan rujukan dalam pelaksanaan evaluasi program pendidikan, terdapat Beberapa Pendekatan dalam penilaian pendekatan yang digunakan yakni :
1.      Objective-Oriented Approach,
2.      Management-Oriented Approach,
3.      Naturalistic-Participant Approach,
4.      Penilaian Berbasis Kelas,
5.       Penilaian Acuan Norma.
6.      Penilaian acuan patokan.
Pemberian skor Penilaian harus bersifat komparabel. Artinya, setelah tahap pengukuran yang menghasilkan angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi yang menduduki skor yang sama harus memperoleh nilai yang sama pula. Atau, jika dilihat dari segi lain, penilaian harus dilakukan secara adil, jangan sampai terjadi penganakemasan atau penganaktirian. Penilaian yang tidak adil mudah menimbulkan frustasi pada siswa, yang selanjutnya dapat merusak perkembangan psikis siswa dan mahasiswa sehingga pembentukan afektif dirusak karenanya.
Cara mengolah skor menjadi nilai standar ada beberapa cara salah satunya  Bahwa pengolahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan).
1.      Hal-hal yang harus dipelajari oleh tesetee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu, dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2.      Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas. Atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya.

B.     SARAN
1. Sebagai pendidik dan calon pendidik sudah selayaknya memperlakukan peserta didiknya sesuai dengan kemampuan dan kepribadiannya, kemampuan terhadap penguasaan materi, dan memberikan skor dengan adil sesuai dengan acual penilaian yang berlaku.
2. Sebagai calon pendidik juga seyogyanya memahami tehnik pemberian skor terhadap hasil peserta didik agar mereka tidak merasa dirugikan dan mampu merumuskan langkah-langkah berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Prinsip Dasar, Tujuan, Fungsi, Teknik, Prosedur Evaluasi Pendidikan. Diunduh tanggal 30 september  2012 dari  http://sylvie.edublog.org.

Anonim. 2011. Evaluasi, Pengukuran, Tes, dan Penilaian (Tujuan, Pendekatan, dan Ruang Lingkupnya).  Diunduh tanggal 25 september  2012 dari www.wikiberita.net
Sulaeman. 2011. Evaluasi PAN dan PAP. Diunduh tanggal 25 september  2012 dari http://sulaemaneman.blogspot.com/
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta :  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam  Kementerian  Agama, 2012),. 268




[1] Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Jakarta :  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam  Kementerian  Agama, 2012),. 268
[2] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007),. 3
[3] Anonim. 2011. Prinsip Dasar, Tujuan, Fungsi, Teknik, Prosedur Evaluasi Pendidikan. Diunduh tanggal 30 september  2012 dari  http://sylvie.edublog.org.
[4] Anonim. 2011. Evaluasi, Pengukuran, Tes, dan Penilaian (Tujuan, Pendekatan, dan Ruang Lingkupnya).  Diunduh tanggal 25 september  2012 dari www.wikiberita.net
[5] Sulaeman. 2011. Evaluasi PAN dan PAP. Diunduh tanggal 25 september  2012 dari http://sulaemaneman.blogspot.com/
[6] Sulaeman. 2011. Evaluasi PAN dan PAP. Diunduh tanggal 25 september  2012 dari http://sulaemaneman.blogspot.com/
“ Aku mengadu kepada kepala imam waki’ tentang hapalanku yang lemah, lantas ia memberiku petunjuk agar meniggalkan maksiyat”," Hapalan adalah pemberian Tuhan, sedang pemberian Tuhan tidaklah diberikan kepada orang bermaksiyat”,“ Salama aku masih mencari keutamaan, ilmu dan takwa aku tak butuh nyanyian wanita dan aromanya”