Pages

Pasca Sarjana

Pasca Sarjana

About

Selamat Datang BLOG KAMI  »   "ان المعلم و لبطيب كلا هما* لا ينصحان اذهما لم يكر مان" Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormatiالله اكبرا, Mari Kita Berusaha menjadi manusia yang takwa... Tetap semangat Beruntunglah Orang Yang tidak Selalu lupa Salam Takzim

Selasa, 19 Juli 2016

The Book of Muslimah

Jika Ingin Memesan Hubungi : 085 606 239 572
Spesifikasi Buku:
JudulThe Book of Muslimah
PenulisSukron Aziz Zuama
ISBN978-602-0882-43-7
UkuranBookPaper/68/14x21
Berat0.5 kg    

Description:

Buku ini berisi tips make up untuk muslimah. Tips ini meliputi seluruh bagian tubuh mulai ujung kepala hingga ujuang kaki. Penggunaan bedan, lipstik, sampo, jilbab, kosmetik, semuanya ada aturannya. Wanita memang dituntut untuk selalu tampil cantik, namun bagaimana caranya? Buku ini mengulasnya secara detail.      

Minggu, 17 Juli 2016

SILSILAH KELUARGA BESAR BAPAK MUSTHOFA dan MANFAAT & HIKMAH MEMPELAJARI ILMU NASAB

 Silsilah dari Ayah



 Silsilah dari Ibu

MANFAAT & HIKMAH MEMPELAJARI ILMU NASAB (GARIS KETURUNAN)

Ada yang berkata kepada kami, bahwa mereka yang belajar ilmu nasab (kita sering menyebutnya silsilah) pada prinsipnya tidak bermanfaat sama sekali. Menurut orang-orang ini, apa pentingnya belajar ilmu seperti ini?, apa lagi ditengah zaman yang sangat modern seperti sekarang ini.  Berbagai ungkapan ungkapan Pengkerdilan ilmu nasab sudah sering saya temukan, Ilmu nasab benar benar dipandang sebagai ilmu yang aneh, ilmu yang tidak bisa disetarakan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan ucapan-ucapan ketus sering saya baca dan saya temukan diberbagai forum dunia maya. Mereka bahkan dengan entengnya berkata, “nasab lagi nasab lagi..., memangnya apa pentingnya sih nasab itu?”, menurut  sebagian orang ini, bukankah Allah itu melihat seseorang dari Iman dan Takwanya....? Ada juga yang berkata sinis, “saya tidak peduli nasab, toh saya bisa berhasil karena usaha saya sendiri”, atau perkataan “Terus kalau kita bernasab, apa bisa dijamin masuk surga?” lha Nabi-Nabi saja ada keluarganya yang tidak beriman, apalagi kita”.  Kondisi seperti ini akan semakin buruk ketika ada orang yang katanya mengerti ilmu nasab tapi justru kelakuannya malah memperburuk citra Ilmu Nasab. Tidak jarang saya melihat beberapa orang yang posisinya sering dianggap “ahli” dan “jago” dalam ilmu nasab justru hobinya membuat statement atau ungkapan yang mengarah ke Fitnah tentang ilmu nasab , entah itu dengan menggunakan identitas palsu atau melalui “tangan kanannya”.

Apakah  persepsi ilmu nasab seburuk itu? Apakah ilmu nasab sama sekali tidak mempunyai manfaat baik itu di dunia dan akhirat? Apakah ilmu nasab itu justru menjadikan yang mempelajarinya buruk dan arogan? Apakah dengan kita mengetahui ilmu nasab kita jadi terbelakang ?
Mari kita jawab kesemuanya itu, apakah benar kalau ilmu nasab itu tidak mempunyai manfaat dan hikmah dalam kehidupan kita.
Menurut Nurul Irfan (2012) bahwa nasab itu adalah :
  1. Salah satu pondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara pribadi berdasarkan kesatuan darah
  2. Untuk menjaga terjadinya perzinahan melalui pernikahan yang sah
  3. Menjaga pernikahan yang semahram berkat pengetahuan ilmu ini.
  4. Karunia yang besar  yang diturunkan Allah kepada hambanya (Al Furqon, 54)
  5. Mempunyai pengaruh  dalam membina rumah tangga, keluarga dan masyarakat.
  6. Hak pertama yang harus diterima bayi agar terhindar  dari kehinaan dan ketelantaran seperti mendapatkan perawatan, nafkah, hak waris dan perwalian nanti.
  7. Menjaga keserasian  dan kesetaraan kedua pasang calon mempelai (kafa’ah), hal ini dimaksudkan  agar tujuan  perkawinan dapat tercapai yaitu berupa ketenangan hidup berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Sedangkan menurut Idrus Al Masyhur (2010) mengutip beberapa Hadist dan perkataan sahabat serta kata kata ulama mengenai arti pentingnya Ilmu nasab ini yaitu diantarannya :
  1. Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh, Rasululullah SAW bersabda : “Pelajarilah nasab kalian, agar kalian  mengenali  hubungan darah kalian”.
  2. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW  : “Telah kafir bagi siapa saja yang berlepas diri dari urusan nasab, jika hal tersebut samar-samar. Dan telah kafir bagi siapa saja yang menyambungkan nasab yang tidak diketahuinya”.
  3. Berkata Umar bin Khattab : Pelajarilah nasab kalian, janganlah seperti kaum Nabat hitam, yang jika salah satu  diantara mereka ditanya  darimana asalnya, maka mereka Cuma berkata “dari desa ini”.
  4. Al Halimi berkata : “Siapa yang tidak mengenal nasabnya berarti ia tidak mengenal manusia, maka siapa yang tidak kenal manusia tidak pantas baginya kembali kepada manusia”.
Setelah kita mengetahui manfaat dan hikmah dari adanya ilmu nasab kita, bagaimana langkah kita selanjutnya ? apakah masih tetap memandang rendah ilmu nasab? Atau cuek sama sekali karena terjebak pola hidup individualitas?  Mereka yang selama ini menganggap rendah terhadap ilmu nasab, atau sama sekali tidak peduli, menurut saya patut diluruskan cara berfikirnya. Saya sendiri merasakan manfaat yang sangat besar ketika mempelajari garis keturunan keluarga besar saya, saya bisa bersilaturahim, saya banyak mendapatkan saudara, saya jadi tahu sejarah yang benar dan yang paling penting saya bisa merasakan keberkahan dan manfaat ketika saya mengetahui garis keturunan saya. Sebagai orang yang besar dalam dunia pendidikan, tentu saya ingin apa yang saya pelajari bersifat ilmiah dan rasional serta diiringi dengan sikap keimanan yang seiring sejalan dengan kedua hal yang saya sebutkan tadi. Memandang rendah atau tidak peduli dengan nasab, sama saja membuat hidup kita sempit, seolah olah kita tidak punya saudara, seolah-olah kita sebatang kara, seolah keluarga kita hanya itu itu saja, padahal saudara kita masih banyak dan bertebaran dimana-mana. Seorang yang mengetahui nasab, biasanya selalu berhasrat ingin terus menjalin tali kekerabatan dan silaturahim, dan itu saya buktikan sendiri.
Mengetahui nasab itu penting, karena dengan kita mengetahui nasab, kita bisa mengambil pelajaran kehidupan melalui perjalanan perjalanan para leluhur kita, apalagi jika leluhur kita dulunya adalah orang-orang yang hebat dan mulia. Kalau kita rajin mempelajari sejarah kehidupan leluhur kita, maka kita tentu bisa mengambil suri tauladan atau manfaat yang pernah perbuat. Orang yang mengetahui nasab itu sangat aneh jika dia justru berprilaku sombong atau mengagung agungkan nasabnya kepada orang lain. Orang yang tahu akan nasabnya, sudah seharusnya semakin bernasab justru semakin tawadhu, menjauhi fitnah dan semakin berakhlak. Seorang Habib Bahruddin Azmatkhan yang merupakan ulama ahli nasab bahkan pernah berpesan melalui riwayat salah seorang cucunya, bahwa orang yang bernasab itu bagaikan permata, semakin diasah semakin berkilau, sekalipun dia ada di lumpur maka dia tetaplah permata. Syekh Abdul Qodir Jaelani, seperti yang dikutif oleh Abdurrozaq Al Kailani (2009) mengatakan, bahwa sekalipun Syekh Abdul Qodir Jaelani bernasab kuat (karena ibu bapaknya keturunan Sayyidina Husein & Sayyidina Hasan), beliau paling tidak suka menyebutkan atau menyombongkan nasabnya, bahkan beliau melarang anak-anaknya melakukan hal tersebut karena disebabkan sikap tawadhu beliau.
Oleh karena itu bagi mereka yang sudah mengetahui nasab atau mempelajari ilmu nasab sebaiknya marilah kita bersikap seperti yang ditulis dibawah ini;
  1. Semakin faham ilmu nasab atau semakin tahu nasab kita justru semakin rendah hati.
  2. Mengetahui nasab justru semakin membuat kita berakhlak seperti akhlaknya Rasulullah SAW.
  3. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta akan silaturahim.
  4. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta kepada kaum fakir miskin, anak yatim dan masyarakat dari berbagai lapisan.
  5. Mengetahui nasab akan semakin membuat kita lebih kuat dalam beribadah.
  6. Mengetahui nasab tidak membuat kita jadi feodal, arogan, individual dan eksklusif.
  7. Mengetahui nasab justru membuat kita semakin termotivasi dalam berprestasi.
  8. Mengetahui nasab justru  semakin menjadikan kita rajin untuk selalu menuntut ilmu sampai wafat.
  9. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta akan saudara saudara kita dimana saja.
  10. Mengetahui nasab justru menjadikan benteng kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan  yang tidak benar.
  11. Mengetahui nasab justru akan menjadikan lebih energik dalam menghasilkan karya karya dalam bidang ilmu pengetahuan.
  12. Mengetahui nasab semakin bisa mendekatkan diri kita dengan pola hidup nrimo, apa adanya, ikhlas, sabar dan tawakal.
  13. Mengetahui nasab justru membuat kita semakin bisa belajar tentang bagaimana sabarnya para leluhur kita dalam menghadapi fitnah dan cobaan.
  14. Mengetahui nasab semakin membuat kita cerdas dalam segala hal.
  15. Mengetahui nasab semakin membuat kita senang akan hal-hal persaudaraan.
  16. Mengetahui nasab semakin membuat umur kita berkah.
  17. Mengetahui nasab semakin membuka pintu rezki yang mungkin selama ini tertutup...
Wallahu A’lam Bisshowab...

Sumber :
As-Syekh Abdurrozaq Al-Kailaini. Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani, Guru Para Pencari Tuhan. Penerbit : Mizania, Bandung, 2009.
As-Sayyid Idrus Alwi Al Mahsyur. Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika. Penerbit Saraz Publishing. Jakarta, 2010.
Nurul Irfan. Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam. Penerbit : Amzah, Jakarta, 2012.
As-Syekh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan. Dasar-dasar ilmu nasab, Penerbit: Majelis Dakwah Walisongo, Jakarta, 2014.

Jumat, 01 Juli 2016

Perpisahan Dengan Bulan Ramadhan

Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” (Perpisahan dengan Bulan Ramadhan), juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua.
Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan

Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas.
Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[1]
Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2]
Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[3]
Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4]
Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena (1) iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan (2) mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5]
Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[7] Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran:
Pertama, amalan wajib (seperti puasa Ramadhan, -pen) bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar.
Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8]
Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah (taubat yang sesungguhnya).[9]
Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna (29 atau 30 hari). Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[10]
Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulan Ramadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab (terkabulkan), apalagi ketika berbuka.[11]
Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen) dalam shalat.[12]
Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”[13]
Seharusnya Keadaan Seseorang di Hari Raya Idul Fithri Seperti Ini
Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fithri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi) seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa. Namun hal ini dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan.
Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”
Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[14]
Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima
Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Qs. Al Mu’minun: 60)
‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”
Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”
Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal.”
Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”
Oleh karena itu sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”
Lihat pula perkataan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan  kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”
Itulah kekhawatiran para salaf. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.
Bagaimana Mungkin Mendapatkan Pengampunan di Bulan Ramadhan?
Setelah kita melihat bahwa di bulan Ramadhan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Ta’ala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadhan, padahal kesehariannya di bulan Ramadhan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar. Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, shalat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh shalat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?!
Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan shalat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan shalat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan shalat lima waktu.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Qs. At Taubah: 11)
Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”[15]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” [16]”[17] Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadhan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan shalat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik.
Lalu seperti inikah Idul Fithri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fithri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan shalat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah– mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” [18] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah– berkata,  “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”[19]
Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan shalat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”[20] Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fithri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan?
Takbir di Penghujung Ramadhan
Karena begitu banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, kita diperintahkan oleh Allah di akhir bulan untuk bertakbir kepada-Nya dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut,  para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama, takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri.
Pendapat kedua, takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri.
Pendapat ketiga, takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied.
Pendapat keempat, takbir pada hari Idul Fithri.
Pendapat kelima yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ‘ied.
Pendapat keenam yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir.[21]
Syukur di sini dilakukan untuk mensyukuri nikmat Allah berupa taufik untuk melakukan puasa, kemudahan untuk melakukannya, mendapat pembebasan dari siksa neraka dan ampunan yang diperoleh ketika melakukannya. Atas nikmat inilah, seseorang diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah, bersyukur kepada-Nya dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa.
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sebenar-benarnya takwa adalah mentaati Allah tanpa bermaksiat kepada-Nya, mengingat Allah tanpa lalai dari-Nya dan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, tanpa kufur darinya.[22]
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd. Di penghujung bulan Ramadhan ini, hanyalah ampunan dan pembebasan dari siksa neraka yang kami harap-harap dari Allah yang Maha Pengampun. Kami pun berharap semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan, walaupun kami rasa amalan kami begitu sedikit dan begitu banyak kekurangan di dalamnya. Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna). Wa shallallahu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Footnote:
[1]  HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760.
[2]  Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 372, Daar Ibnu Katsir [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[3]  HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759
[4]  HR. Bukhari no. 1901.
[5]  Lihat Fathul Bari, 6/290, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
[6]  Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 372 dan Fathul Baari, 6/290
[7]  HR. Muslim no. 233.
[8]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 372
[9]  -Idem-
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 373
[11]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 378
[12]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 383
[13]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 378
[14]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 373-374
[15]  HR. Muslim no. 82
[16]  HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani
[17]  Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62, Asy Syamilah
[18]  Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.
[19]  Al Kaba’ir (Ma’a Syarhi Li Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin), Al Imam Adz Dzahabiy, hal. 25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[20]  HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya
[21]  Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 1/239, Mawqi’ At Tafasir, Asy Syamilah
[22]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 381



Sumber: https://muslimah.or.id/1101-perpisahan-dengan-bulan-ramadhan.html

Selamat Lebaran/ Idul Fitri 1437 H / 2016 M

Andai jemari tak smpt berjabat, andai raga tak dpt b’tatap Seiring beduk yg mgema ,sruan takbir yg berkumandang Kuhaturkan salam menyambut Hari raya idul fitri ,jk Ada kata serta khilafku membekas lara mhn maaf lahir batin. SELAMAT IDUL FITRI 1437 H
“ Aku mengadu kepada kepala imam waki’ tentang hapalanku yang lemah, lantas ia memberiku petunjuk agar meniggalkan maksiyat”," Hapalan adalah pemberian Tuhan, sedang pemberian Tuhan tidaklah diberikan kepada orang bermaksiyat”,“ Salama aku masih mencari keutamaan, ilmu dan takwa aku tak butuh nyanyian wanita dan aromanya”